Jumat, 28 November 2014

Makalah Difusi Obat dalam Tubuh_Farmasi Fisika

PEMBAHASAN


2.1  Sifat membran
Rintangan atau sawar yang dihadapi zat aktif sebelum mencapai titik-tangkap atau sebelum mengalami perubahan atau peniadaan, tampaknya berbeda untuk setiap zat aktif. Sawar tersebut dapat merupakan sejumlah lapisan sel (misalnya kulit), atau hanya satu sel basal (epiterl usus halus), ataupun bahkan yang berukuran lebih kecil dari sel itu sendiri (membran antar sel atau pembatas organ intraseluler seperti inti atau mitokondria). Namun sesungguhnya perbedaan tersebut merupakan satu kesatuan struktur  yang sama pada semua membran baik pada manusia, hewan ataupun tanaman.
Konsep tentang sifat alami dan struktur membran telah berkembang seiring dengan kemajuan teknik pengamatan. Misalnya adanya mikroskop elektron yang memungkinkan pemastian hal-hal yang oleh mikroskop optik tidak jelas seperti perbedaan pewarnaan atau penampakan antara dua obyek. Pada mikroskop elektron, membran sederhana tampak sebagai gambaran tiga dimensi asimetrik, tebalnya beragam antara 70 dan 100 Angstrom, terdiri atas dua lapisan yang samar dengan tebal berbeda dan ditutup oleh suatu lapisan bening.
Pengertian lipida protein alami suatu membran sebagai gabungan molekul penyusun membran telah mengalami banyak perubahan sejak Overton (1902) menemukan adanya membran lipida essensial. Penelitian Davson dan Danielli (1936-1943) serta Stein dan Danielli lipida protein sebagai model membran. Model membran tersebut terdiri atas dua basal lipida monomolekuler (terutama terdiri atas fosfolipida, tetapi juga kolesterol) yang kutub hidrofobnya menghadap ke bagian dalam, dan kutub hidrofilnya merupakan basal protein berada di fase berair. Telah diketahui pula bahwa bahwa susunan molekuler tersebut adalah sekitar 75 Angstrom, membentuk gambaran tiga dimensi asimetrik yang diperoleh dengan mikroskop elektron. Dua kutub hidrofil mengandung protein dan ujung fosfolipida yang pilar (salah satu diantaranya yang berada pada permukaan luar mempunyai lapisan protein globuler) mengelilingi daerah pusat hidrofob. Tetapi tampaknya susunan statis tersebut bukan merupakan protein dan lipida dalam membran seluler yang hidup. Model berlapis tersebut relatif dapat diterapkan lebih baik, dihasilkan dari penelitian baru (Simposium 1972) dan merupakan konseo nidek “mosaik cair”.
Dalam konsep mosaik cair, matriks membran terdiri atas 2 lapisan lipida protein globuler yang tidak berkesinambungan dan saling menyesuaikan, menurut susunan yang teratur atau tidak teratur. Gugusan polarnya terletak pada permukaan membran yang kontak dengan cairan intra atau ekstraseluler, sedangkan gugus non polar menghadap ke arah dalam. Pori-pori yang tampak pada sumbu urtama protein globuler tebalnya ± 85 Angstrom.
Gambar 2. Struktur “Mosaik” menurut Singer dan Nicholson)

Gambar 1. Konsep Stain dan Danielli


Difusi zat terlarut dari suatu larutan ke dalam larutan yang lainnya dapat berlangsung melalui suatu membran dengan permeabilitas tertentu yaitu permeabel untuk zat tersebut. Permeabilitas dari membran tersebut ada tiga macam, yaitu:
  1. Impermeabel (tidak permeabel), dimana air maupun zat yang terlarut di dalamnya tidak dapat melaluinya. Misalnya membran dari karet.
  2. Permeabel, yaitu membran yang dapat dilalui oleh air maupun zat-zat tertentu yang terlarut di dalamnya.
  3. Semipermeabel, yaitu membran yang hanya dapat dilalui oleh air, tetapi tidak dapat dilalui oleh suatu zat terlarut. Misalnya membran dari sitoplasma.




2.2  Mekanisme lintasan membran
Mekanisme pasif dan aktif (termasuk pembentukan membran) bersaing dalam proses perlintasan zat aktif melalui  membran, yakni filtrasi, difusi pasif “pH partisi hipotesis”, transpor aktif, difusi sederhana, transpor oleh pasangan ion. Namun, yang akan dibahas dalam makalah ini hanya difusi dan jenis-jenisnya.
2.3  Pengertian Difusi
Difusi didefinisikan sebagai suatu proses perpindahan massa molekul suatu zat yang dibawa oleh gerakan molekular secara acak dan berhubungan dengan adanya perbedaan konsentrasi aliran molekul melalui suatu batas, misalnya suatu membran polimer, merupakan suatu cara yang mudah untuk menyelidiki proses difusi. Perjalanan suatu zat melalui suatu batas bisa terjadi oleh suatu permeasi molekul sederhana atau oleh gerakan melalui pori dan lubang (saluran). Difusi molekular atau permeasi melalui media yang tidak berpori bergantung pada disolusi dari molekul yang menembus dalam keseluruhan membran. Sedang proses difusi perjalanan suatu zat melalui pori suatu membran yang berisi pelarut, serta dipengaruhi oleh ukuran relatif molekul yang menembusnya serta diameter dari pori tersebut.
Perbedaan konsentrasi (suatu zat dalam pelarut dari bagian berkonsentrasi tinggi ke bagian yang berkonsentrasi rendah) yang ada pada dua larutan disebut gradien konsentrasi. Difusi akan terus terjadi hingga seluruh partikel tersebar luas secara merata atau mencapai keadaan kesetimbangan dimana perpindahan molekul tetap terjadi walaupun tidak ada perbedaan konsentrasi. Contoh yang sederhana adalah pemberian gula pada cairan teh tawar. Lambat laun cairan menjadi manis. Contoh lain adalah uap air dari cerek yang berdifusi dalam udara. Difusi yang paling sering terjadi adalah difusi molekuler. Difusi ini terjadi jika terbentuk perpindahan dari sebuah lapisan (layer) molekul yang diam dari solid atau fluida.
Dalam mengambil zat-zat nutrisi yang penting dan mengeluarkan zat-zat yang tidak diperlukan, sel melakukan berbagai jenis aktivitas, dan salah satunya adalah difusi. Ada dua jenis difusi yang dilakukan, yaitu difusi biasa dan difusi khusus.
Difusi biasa terjadi ketika sel ingin mengambil nutrisi atau molekul yang hydrophobic atau tidak berpolar / berkutub. Molekul dapat langsung berdifusi ke dalam membran plasma yang terbuat dari phospholipids. Difusi seperti ini tidak memerlukan energi atau ATP (Adenosine Tri-Phosphate).
Difusi khusus terjadi ketika sel ingin mengambil nutrisi atau molekul yang hydrophilic atau berpolar dan ion. Difusi seperti ini memerlukan protein khusus yang memberikan jalur kepada partikel-partikel tersebut ataupun membantu dalam perpindahan partikel. Hal ini dilakukan karena partikel-partikel tersebut tidak dapat melewati membran plasma dengan mudah. Protein-protein yang turut campur dalam difusi khusus ini biasanya berfungsi untuk spesifik partikel.
Gambar 3. Partikel-partikel berdifusi dalam membran


Ada beberapa faktor yang memengaruhi kecepatan difusi, yaitu:
  • Ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel, semakin cepat partikel itu akan bergerak, sehingga kecepatan difusi semakin tinggi.
  • Ketebalan membran. Semakin tebal membran, semakin lambat kecepatan difusi.
  • Luas suatu area. Semakin besar luas area, semakin cepat kecepatan difusinya.
  • Jarak. Semakin besar jarak antara dua konsentrasi, semakin lambat kecepatan difusinya.
  • Suhu. Semakin tinggi suhu, partikel mendapatkan energi untuk bergerak dengan lebih cepat. Maka, semakin cepat pula kecepatan difusinya.
Difusi obat berbanding lurus dengan konsentrasi obat, koefisien difusi, viskositas dan ketebalan membran. Di samping itu difusi pasif dipengaruhi oleh koefisien partisi, yaitu semakin besar koefisien partisi maka semakin cepat difusi obat.



2.4  Tipe Difusi

Awalnya konsentrasi difusan di kompartemen kiri akan turun, dan konsentrasi dikompartemen kanan naik sampai terjadi kesetimbangan
Setelah sistem berada selama periode waktu yang cukup, konsentrasi difusan pada kedua kompartemen mjd konstan thd waktu walaupun jumlahnya tidak sama


2.4 Mekanisme absorpsi
Penetrasi senyawa melalui membran dapar terjadi sebagai:
  • Difusi (pasif murni)
  • Difusi terfasilitsi (melalui pembawa)
  • Transpor aktif atau
  • Pinositosis, fagositosis, dan persorpsi.

Difusi pasif “pH partisi hipotesis”
Difusi pasif menyangkut senyawa yang dapat larut dalam komponen penyususun membran. Karena ini menyangkut difusi murni, maka difusi ini tidak dapat dihambat oleh senyawa analog dan melalui blokade metabolisme. Dilihat secara kuantitatif, difusi pada pengambilan bahan ke dalam organisme terjadi terutama melalui matriks lipid. Karena itu, kelarutan senyawa yang diabsorpsi dalam lemak memegang peranan yang menonjol. Pori yang terdapat dalam membran hanya memiliki arti tertentu untuk absopsi senyawa nonelektrolit yang sukar larut dalam lemak serta senyawa yang terionisasi sempurna dengan bobot molekul rendah.
Penembusan terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi atau elektrokimia tanpa memerlukan energi, sehingga mencapai keseimbangan dikedua sisi membran. Waktu yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan tersebut mengikuti hukum Fick:
V = P (Ce-Ci), P adalah tetapan permeabilitas, sedangkan Ce dan Ci adalah konsentrasi pada kedua kompartemen.
Jadi konsentrasi (C) senyawa dikedua sisi membran berpengarug pada proses penembusan, tetapi perlu ditekankan bahwa hanya fraksi bebas dari zat aktif yang diperhitungkan dalam perbedaan konsentrasi. Sesungguhnya (masalah ini dibahas lagi pada studi penyebaran obat) banyak molekul-molekul yang memberikan aktivitas terapetik, menunjukkan afinitas terhadap bahan biologis khususnya protein yang terdapat dalam suatu kompartemen. Kombinasi zat aktif-protein yang terbentuk tersebut tidak dapat berdifusi karena alasan bobot molekulnya. Dalam hal ini hanya fraksi bebas yang dapat berdifusi: rantai protein merupakan faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi laju difusi melalui membran.
            Tetapan permeabilitas P tergantung pada membran dan molekul obat. Jadi persamaan difusi transmembran yang berikut ini:
V = P (Ce-Ci), dapat ditulis V =
Catatan:           D adalah koefesien difusi molekul
K adalah koefisien partisi
A dan ΔX adalah luas permukaan dan tebal membran
Jadi koefisien difusi molekul terkait dengan ukuran molekul: molekul yang ukurannya kecil akan berdifusi lebih cepat dibandingkan dengan yang berukuran lebih besar dan sebaliknya. Tetapi hal yang lebih penting berkaitan dengan tetapan permeabilitas adalah koefisien partisi antara fase lipida dan fase air yang terletak di kedua sisi membran. Koefisien partisididefinisikan:
K =
Bila molekul semakin larut-lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi transmembran terjadi lebih mudah. Tidak boleh dilupakan bahwa organisme terdiri dari fase lemak dan air, sehingga bila koefisien partisi sangat tinggi ataupun sangat rendah maka hal tersebut merupakan hambatan pada proses difusi zat aktif.
Kebanyakan zat aktif merupakan basa atau asam organik, maka dalam keadaan terlarut sebagian molekul berada dalam bentuk terionkan dan sebagian dalam bentuk tak terionkan. Jika ukuran molekul tidak dapat melalui kanal-kanal membran, maka polaritas yang kuat dari bentuk terionkan akan menghambat proses difusi transmembran. Hanya fraksi zat aktif yang tak terionkan dan larut dalam lemak yang dapat melalui membran dengan cara difusi pasif.
Pentingnya faktor-faktor yang berpengaruh pada difusi transmembran dari suatu molekul (derajat ionisasi molekul, pH kompartemen) digarisbawahi dalam “TEORI DIFUSI NON IONIK ATAU HIPOTESA pH PARTISI”.
Untuk obat yang zat aktifnya merupakan garam dari asam kuat atau basa kuat, derajat ionisasi berperan pada hambatan difusi transmembran. Sebaliknya untuk elektrolit lemah berupa garam yang berasal dari asam lemah atau basa lemah yang sedikit terionisasi, maka difusi melintasi membran tergantung kelarutan bentuk tak terionkan di dalam lemak, jumlah bentuk yang tak terionkan (satu-satunya yang berpengaruh pada konsentrasi), serta derajat ionisasi molekul.
Derajat ionisasi tergantung pada dua faktor, (persamaanHenderson Hasselbach) yaitu:
-          Tetapan disosiasi daru senyawa atau pKa (pH dimana bentuk terionkan dan bentuk tak terionkan jumlahnya sama)
-          pH cairan dimana teradpat molekul zat aktif; pH dikedua sisi dapat berbeda.
Untuk asam: pH = pKa + log
Untuk basa: pH = pKa + log
Pada setiap molekul tertentu, perjalan lintas-membran sangat berbeda oada setiap daerah saluran perncernaan, karena pH saluran cerna beragam antara 1-3,5 untuk lambung, 5-6 untuk duodenum dan ±8 pada ileum. Penyerapan efektif terutama terjadi pada bentuk yang tak terionkan yaitu zat aktif bersifat asam lemah pada lambung, sedangkan difusi basa lemah di lambung akan berkurang, namun penyerapannya didalam usus halus menjadi sangat berarti karena bentuk tak terionkan yang larut-lemak terdapat dalam jumlah yang banyak.
pH = pKa + log
Gambar 4. Penerapan persamaan Henderson-Hasselbach pada penembusan transmembran dari bentuk asam lemah tak terionkan (asam asetil salisilat, pKa=3) pada setiap bagian saluran cerna.


Terori ini secara nyata diterapkan dalam penyerapan zat aktif lainnya, yaitu pada penetrasi zat aktif ke dalam tubuh, juga pada fase kinetik selanjutnya. Demikian pula pada pengobatan dengan obat-obat yang berbahaya, yang dapat melepaskan zat aktif dari tempat fiksasinya di jaringan dan peniadaannya.
Karakteristik fisiko-kimia sebagian besar molekul (polaritas, ukuran, molekul, dan sebagainya) merupakan hambatan penumbusan transmembran oleh mekanisme pasif secara filtrasi dan difusi. Pengikutsertaan proses aktif dapat menjelaskan perjalanan obat yang kadang-kadang melintasi membran sel dengan sangat cepat.
Difusi terfasilitasi (difusi sederhana)
Difusi sederhana/terfasilitasi merupakan cara perlintasan membran yang memerlikan suatu pembawa dengan karekteristik tertentu (kejenuhan, spesifik, dan kompetitif). Pembawa tersebut bertanggung jawab terhadap transpor aktif, tetapi disini perlintasan terjadi akibat gradien konsentrasi dan tanpa pembebasan energi. Difusi sederhana bertanggung jawab terhadap penetrasi glukosa ke bagian dalam sel darah.
Gambar 5. Perlintasan membran dengan transpor sederhana


Maksudnya, pada difusi melalui pembawa (terfasilitasi), molekul hidrofil misalnya fruktosa, berikatan dengan suatu pembawa (carrier = pembawa) yang merupakan protein membran khusus. Pembawa dan kompleks pembawa-substrat dapat bergerak bebas dalam membran, dengan demikian penetrasi zat yang ditransportasi zat yang ditranspor melalui membran  sel lipofil ke dalam bagian dalam sel dipermudah.
Apabila terjadi penetrasi melalui membran, senyawa dilepaskan lagi dari pembawa. Syarat untuk transpor pembawa ialah afinitas tertentu dari zat yang ditranspor (S) terhadap pembawa (C). pada sisi luar membran terdapat keseimbangan dinamik antara pembawa bebas, zat yang ditranspor, yang disebut juga sebagai substrat dan kompleks substrat pembawa.
Gambar 6. Struktur membran plasma; (model fluid mosaik) dalam bagan (menurut Knϋfermann)

Menurut pembentukan kompleks tersebut suatu landaian konsentrasi antara sisi luar dan sisi dalam dari membran, y ang merupakan gaya mendorong untuk transpor kompleks substrat-pembawa melalui membran. Karena disini tak ada energi yang dibutuhkan, difusi yang terfasilitasi serta difusi sederhana tidak dapat dihambat oleh racum metabolisme.
Sebaliknya pembawa dapat ditempati secara kompetitif oleh zat-zat yang biasanya sangat mirip dengan zat yang ditranspor. Apabila kompleks substrat-pembawa berhasil mencapai bagian dalam membran, terjadi pemisahan substrat dan pembawa. Hal ini disebabkan oleh konsentrasi yang rendah dalam sitoplasma maka persamaan ikatan S+C=SC bergeser ke arah sebaliknya.
2.5  Mekanisme kerja obat (nasib obat didalam tubuh)
2.5.1   Farmasetis
Untuk mendapatkan respon, obat harus dipecah terlebih dahulu menjadi molekul kecil. Misalnya dengan disolusi dan disintegrasi. Dalam fase ini, yang penting adalah ketersediaan farmasi dari zat aktifnya, yaitu obat siap untuk diabsorbsi.
2.5.2   Farmakokinetik
  1. Absorbsi
Obat, untuk dapat menimbulkan aksi dan menghasilkan efek, terlebih dahulu harus diabsorbsi. Proses absorbsi meliputi masuknya obat hingga sampai ke aliran darah.
Absobsi kebanyakan obat terjadi secara pasif melalui difusi. Kecepatan absorpsi dan kuosien absorpsi (hubungan bagian yang diabsorbsi terhadap jumlah yang diberikan) bergantung kepada banyak faktor. Di antaranya yang terpenting adalah:
  • Sifat fisikokimia bahan obat, terutama sifat stereokimia dan kelarutannya,
  • Besar partikel dan dengan demikian permukaan jenis,
  • Sediaan obat
  • Dosis
  • Rute pemberian dan tempat pemberian
  • Waktu kontak dengan permukaan absorpsi
  • Besarnya luas permukaan yang mengabsorpsi
  • Nilai pH dalam darah yang mengabsorpsi
  • Integritas membran
  • Aliran darah organ yang mengabsorpsi

Untuk dapat diabsorpsi, bahan obat harus dalam bentuk terlarut. Umumnya, kecepatan larut bahan aktif (misalnya dalam saluran cerna atau dalam tempat intamuskular) menentukan laju absorpsi. Ini ditentukan, selain oleh sifat-sifat senyawa (seperti misalnya bentuk kristal, besarnya partikel, solvatasi), ditentukan juga oleh sifat sediaan obat (antara lain bahan pembantu yang digunakan, bahan penyalut).
Pada senyawa yang sukar larut, kadang-kadang waktu yang disediakan untuk diabsorpsi tidak cukup untuk melarutkan sempurna jumlah zat yang diberikan. Walaupun demikian melalui pengecilan yang kuat (mikronisasi) dan dengan demikian memperbesar permukaan jenis, dapat dicapai peningkatan kecepatan melarut. Senyawa yang sangat lipofil seperti vitamin A, yang praktis tidak larut dalam air, mula-mula harus dilarutkan sebelum diabsorpsi dalam organisme. Suatu pelarut demikian dapat terjadi dalam usus halus, khususnya dengan bantuan garam-garam asam empedu. Senyawa yang sangat lipofil dapat diabsorpsi juga bersama dengan lipid (seperti misalnya kolesterol) sebagai kilomikron-merupakan titik-titik lemak yang terlihat secara mikroskopi dengan diameter sekitar 1 µm, titik lemak ini terbentuk pada absorpsi lemak di dinding usus, melalui saluran limfe akan sampai di darah dan bertindak sebagai pentranspor lemak yang masuk bersama makanan- kedalam sistem limfe. Disini terlibat juga garam-garam asam empedu yang aktif pada permukaan.
Pada ion anorganik, kemampuan absorpsi menurun sebanding dengan naiknya jumlah muatan dan besarnya ion. Jumlah bahan obat organik yang diabsorpsi bergantung kepada koefisien distribusi (misalnya koefisien distribusi oktanol/air): kemampuan absorpsi mula-mula naik setara dengan naiknya koefisien distribusi sampai suatu maksimum, untuk selanjutnya menurun lagi. Hal ini disebabkan terutama oleh karena senyawa hidrofil sukar dapat menembus memran lipid tidak larut dalam konsentrasi yang cukup dalam lingkungan berair, yang mengelilingi permukaan yang mengabsorpsi. Dengan demikian senyawa yang berkontak dengan permukaan absorpsi per satuan waktu tidak cukup.
Bahan obat organik asam dan basa diabsorpsi terutama dalam bentuk tak terionisasi dan demikian dalam bentuk yang larut dalam lemak. Karena derajat disosiasi bergantung kepada nilai pK senyawa dan angka pH lingkungan masing-masing, asam yang lemah diabsorpsi lebih baik dalam lingkungan asam sampai netral, basa lemah diabsorpsi lebih baik pada harga pH ≥ 7. Pengambilan senyawa amonium kuartener dan senyawa lain yang terionisasi sempurna terjadi sangat lambat dan hanya dalam jumlah kecil. Perubahan buatan harga pH, misalnya akibat antasida, dapat sangat mengubah jumlah absorpsi sebagian obat yang terdisosiasi.

  1. Absorpsi melalui rute bukal atau sublingual
Mukosa yang tervaskularisasi baik yaitu rongga tenggorokan (rute bukal, sublingual), memiliki sifat absorpsi yang baik untuk senyawa yang tak terionisasi, lipofil. Yang mengntungkan pada bentuk pemakaian ini ialah munculnya kerja yang cepat, disamping tak ada kerja cairan pencernaan dari saluran cerna dan bahan obat tidak harus melewati hati segera setelah diabsorpsi. Karena permukaan absorpsi relatif kecil, rute bukal atau sublingual hanya mungkin untuk senyawa yang dapat diabsorpsi dengan mudah dan selain itu tidak boleh mempunyai rasa tidak enak, indikasi penting ialah pengobatan serangan angin pektoris dengan nitrogliserol dalam kapsul kunyah atau sebagai aerosol.
  1. Absorpsi melalui rute oral
Pemberian oral merupajan pemberian termudah dan paling sering digunakan, absorpsi dalam saluran cerna mempunyai arti terbesar. Karena harga pH sangat asam, dalam lambung diabsorpsi terutama asam-asam lemah dan zat netral yang lipofil. Dipihak lain dapat juga terjadi lewatnya senyawa, terutama basa lemah, dari mukosa lambung ke lumen lambung.
Basa lemah terdapat, terutama tidak terionisasi, dalam plasma dan keran itu dapat berdifusi bersama dengan cairan ekstrasel melalui dinding lambung ke dalam lambung. Apabila mencapai lambung, senyawa ini sebagian besar terionisasi dalam lambung sangat kecil. Terjadi difusi ke arah lumen lambung bahkan apabila konsentrasi total senyawa dalam cairan lambung (terionisasi ditambah tidak terionisasi) lebih tinggi daripada konsentrasi dalam plasma.
Lama pelewatan melalui lambung dan dengan demikian waktu beradanya bahan obat dalam lambung bergantung kepada kondisi pengisian dan bahan-bahan kandung lain yang tedapat dalam lambung (pengosongan cepat pada pemberian sediaan obat dalam lambung yang kosong, pembebasan yang dipercepat atau tertunda pada pemberian makanan pada waktu yang sama). Sejauh suatu obat mempengaruhi motilitas lambung atau produksi cairan lambung, waktu pelewatan dalam lambung dan dengan demikian kinetik invasi, berubah. Etanol mempercepat absorpsi senyawa yang diberikan bersamaan karena kerja preminya serta karena sifat pelarutnya.
Bahan yang peka terhadap asam harus dilindungi terhadap kerja asam cairan lambung dengan zat penyalut yang tahan terhadap asam. Usus halus merupakan organ absorpsi terpenting, tidak hanya untuk bahan makanan, melinkan untuk bahan obat juga. Peningkatan luas permukaan yang dibutuhkan untuk absorpsi yang cepat dan sesempurna mungkin dicapai melalui lipatan mukosa dan kripta mukosa serta mikrofili. Harga pH berkisar antara asam lemah dalam duodenum sampai basa lemah dalam bahian usus halus yang lebih dalam, karena itu terdapat asam lemah dalam jumlah yang cukup atau basa lemah dalam bentuk tak terionisasi dan dengan demikian dalam bentuk diabsorpsi.
Karena usus halusyang panjang, waktu pelewatan untuk pengambilan bahan-bahan yang mampu berpenetrasi umumnya cukup. Walaupun demikian, pemendekan waktu pelewatan, misalnya melalui pemberian laksansia yang bekerja terhadap usus halus atau pada diare, dapat menurunkan jumlah absorpsi. Nisbah absorpso dalam usus besar pada pokoknya secara kualitatif sebanding dengan nisbah absorpsi dalam usus halus, hanya permukaan absorpsi jauh lebih kecil karena tidak adanya jonjot dan karena itu juga kemampuan absorpsi umumya lebih rendah. Beberapa bahan obat seperti alkaloid ergot, diabsorpsi tidak baik dalam usus besar.
  1. Absorpsi pemakaian melalui rektum
Pada pemakaian melalui rektum alur melalui hati primer memamng dihindari, karena bagian yang diabsorpsi dalam 2/3 bagian bawah rektum langsung mencapai vena cava inferior dan tidak melalui vena porta. Akan tetapi kuosien absorpsi umumnya jelas lebih rendah dari pada pemakaian secara oral dan disamping itu terdapat penyimpangan dalam individu dan antar individu.
  1. Absorpsi pemakaian melalui hidung
Mukosa hidung yang memiliki sifat absorpsi yang baik seperti mukosa mulut, cocok untuk pemakaian obat menurunkan pembengkakan mukosa secara topikal pada rinitis. Walaupun demikian perlu dipertimbangankan bahwa akibat absorpsi juga dapat terjadi efek sistemik, misalnya kenaikan tekanan darah dan takik kardia  pada bayi setelah pemakaian tetes hidung yang mengandung alfa-simpatomimetika. Absorpsi melalui mukosa hidung pada pemakaian bubuk hisap yang mengandung ADH untuk pengobatan diabetes insipidus serta pemakaian analog gonadoliberin untuk mengobati karsinoma prostata. Pada pemakaian oral. Oligopeptida akan rusak dalam saluran cerna.
  1. Absorpsi pemakaian pada mata
Pemakaian pada mata, sejauh obat harus menembus bagian dalam mata, baik struktur lipofil maupun struktur hidrofil harus ditembusi.
Epitel kornea dan endotel kornea berfungsi sebagai pembatas lipofil, sedangkan hanya zat-zat hidrofil yang dapat berdifusi melalui stroma. Dengan demikian kondisi penembusan akan sangat menguntungkan untuk obat apabila obat tersebut menunjukkan sifat lipofil dan hidrofil bersama-sama. Ini terutama terjadi pada asam lemah dan basa lemah yang sebagian dalam bentuk tak terionisasi sehingga bersifat larut dalam lemak dan sebagian dalam bentuk terionisasi sehingga larut dalam air.
  1. Absorpsi pemakaian pada kulit
Absorpsi melalui kulit yang secara fisiologi tidak memiliki fungsi absorpsi, terjadi terutama transepidermal, disamping transfolikular, tapi kemampuan absorpsi melalui kulit utuh mungkin lebih rendah dibandingkan melalui mukosa.
Stratum korneum yang tidak mengandung kapiler dengan kandungan air yang sangat sedikit (sekitar 10%) merupakan sawar absorpsi dan sekaligus tandon absorpsi. Nisbah absorpsi tertinggi pada pemakaian pada kulit dimiliki oleh zat yang terutama larut dalam lemak, yang masih menunjukkan sedikit larut dalam air. Zat hidrofil serta lemak dan minyak hanya sedikit diabsorpsi oleh kulit. Sejumlah faktor dapat mempengaruhi absorpsi kulit.
Kenaikan suhu kulit menambah kemampuan penetrasi zat yang dipakai melalui kerja panas dari luar. Demikian juga rangsangan yang menyebabkan hiperemi atau beberapa zat pelarut seperti dimetilsulfoksid, dapat memperbaiki absorpsi. Pada daerah kulit meradang, jumlah absorpsi dipertinggi.
Stratum korneum dan dengan demikian sawar absorpsi dapat dihilangkan oleh kerusakan mekanis, kimia atau termal dari permukaan kulit, seperti pada cedera, melepuh atau terbakar. Selanjutnya dibuktikan perbedaan absorpsi melalui kulit yang bergantung pada usia. Pada bayi dan anak kecil, stratum korneum masuh sangat sedikit yang terbentuk, karena itu nisbah absorpsi meningkat. Pada pemakaian topikal dari salep yang mengandung glukokortikoid pada ekzem anak-anak seharusnya tidak digunakan glukokortikoid yang bekerja kuat. Demikian juga pada usia tua, kekebalan dari stratum korneum rendah (kulit keras), karena itu berlaku aturan yang sama. Kalau sampai beberapa tahun yang lalu, kulit sebagai organ absorpsi untuk obat-obat yang bekerja sistemik tak mempunyai arti yang besar, sekarang dicoba dalam ukuran yang meningkat, dengan kemajuan bentuk-bentuk sediaan yang cocok, untuk memanfaatkan kulit sebagai tempat pemberian.
Akan tetapi karena disini ketebalan kulit terbatas, hal ini hanya cocok untuk senyawa dengan dosis rendah (dosisi harian sampai 10mg), dan tampaknya pemakaian melalui kulit berguna hanya jika bahan obat yang digunakan, disamping itu menunjukkan first pass effect yang tinggi dan atau memiliki waktu paruh plasma rendah. Sebagai bentuk pemakaian, selain bentuk semprot, digunakan terutama sistem terapi transdermal. Saat ini sistem demikian dengan nitrogliserol dan skopolamin sebagai bahan aktif terdapat dalam perdagangan. Selanjutnya misalnya dengan klonidin terdapat dalam pengujian klinik.
Kerja sistemik yang tidak diinginkan dapat terjadi pada pemakaian, misalnya glikokortikoid pada permukaan kulit yang luas.
Pemakaian perkuran secara luasobat yang menyebabkan hiperemi, sebagai obat gosok, pada penyakit reumatik menyebabkan sedikit hasil teurapeutik yang diinginkan.
  1. Absorpsi pada pemakaian parenteral
Pada pemberian obat secara parenteral ke dalam kulit, jaringan ikat subkutan atau ke dalam otot, kecepatan absorpsi sangat bergantung kepada pasokan darah dari jaringan. Pasokan dari otot sebaliknya bergantung kepada aktivitas otot bersangkutan. Apabila bahan aktif yang disuntikkan secara intramuskular umumnya diabsorpsi dengan cepat dari otot serat lintang yang dialiri darah dengan baik, maka pada keadaan syok absorpsi sangat menurun. Pada bagian kapiler, absorpsi dipermudah oleh pori endotel. Karena dinding kapiler demikian dengan jari-jari pori sekitar 3 µm merupakan suatu pembatas absorpsi yang lebih lemah dari lapisan epitel maka zat yang tak larut lemak, atau hidrofil dapat juga berdifusi dengan cepat melalui kapiler. Hal ini mungkin saja untuk senyawa dengan bobot molekul tinggi (penyuntikan intramuskular insulin), sebaliknya makromolekul tidak mampu menembus dinding kapiler.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar