Kesalehan dalam Bersikap dan Berperilaku
Seseorang yang mentaati agama belum dapat dikatakan sempurna imannya jika belum mewujudkan kesalehan dalam dirinya.
Kesalehan ada dua macam yaitu kesalehan individu dan sosial.
Kesalehan individual kadang disebut juga dengan kesalehan ritual karena lebih menekankan dan mementingkan pelaksanaan ibadah ritual, seperti shalat, puasa, zakat, haji, zikir, dst. Disebut kesalehan individual karena hanya mementingkan ibadah yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan dan kepentingan diri sendiri. Sementara pada saat yang sama mereka tidak memiliki kepekaan sosial, dan kurang menerapkan nilai-nilai islami dalam kehidupan bermas yarakat. Pendek kata, kesalehan jenis ini ditentukan berdasarkan ukuran serba formal, yang hanya hanya mementingkan hablum minallah, tidak disertai hablum minan nas.
Kesalehan individu menjadi modal pertama dan utama untuk mewujudkan kesalehan sosial. Modal kesalehan individu yang berupa komitmen untuk menjadi pribadi yang baik, jujur, amanah, dan dermawan dapat melahirkan kesalehan sosial kepada sesama dalam kehidupan bermasyarakat.
Kesalehan Sosial menunjuk pada perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai islami, yang bersifat sosial. Bersikap santun pada orang lain, suka menolong, sangat concern terhadap masalah-masalah ummat, memperhatikan dan menghargai hak sesama; mampu berpikir berdasarkan perspektif orang lain, mampu berempati, artinya mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan seterusnya. Kesalehan sosial dengan demikian adalah suatu bentuk kesalehan yang tak cuma ditandai oleh rukuk dan sujud, puasa, haji melainkan juga ditandai oleh seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan berbuat kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. Sehingga orang merasa nyaman, damai, dan tentram berinteraksi dan bekerjasama dan bergaul dengannya.
Dalam Islam, sebenarnya kedua corak kesalehan itu merupakan suatu kemestian yang tak usah ditawar. Keduanya harus dimiliki seorang Muslim, baik kesalehan individual maupun kesalehan sosial. Agama mengajarkan “Udkhuluu fis silmi kaffah !” bahwa kesalehan dalam Islam mestilah secara total !”. Ya shaleh secara individual/ritual juga saleh secara sosial. Karena ibadah ritual selain bertujuan pengabdian diri pada Allah juga bertujuan membentuk kepribadian yang islami sehingga punya dampak positif terhadap kehidupan sosial, atau hubungan sesama manusia.
Karena itu, kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur dari seperti ibadah ritualnya shalat dan puasanyanya, tetapi juga dilihat dari output sosialnya/ nilai-nilai dan perilaku sosialnya: berupa kasih sayang pada sesama, sikap demokratis, menghargai hak orang lain, cinta kasih, penuh kesantunan, harmonis dengan orang lain, memberi dan membantu sesama.
Dalam hadis lain diceritakan, bahwa seorang sahabat pernah memuji kesalehan orang lain di depan Nabi. Nabi bertanya, “Mengapa ia kau sebut sangat saleh?" tanya Nabi. Sahabat itu menjawab, "Soalnya, tiap saya masuk masjid ini dia sudah salat dengan khusyuk dan tiap saya sudah pulang, dia masih saja khusyuk berdoa." "Lho, lalu siapa yang memberinya makan dan minum?" tanya Nabi lagi. "Kakaknya," sahut sahabat tersebut. Lalu kata Nabi, "Kakaknya itulah yang layak disebut saleh." Sahabat itu diam.
Bagi umat Islam dalam mewujudkan kesalehan individu dan kesalehan sosial memiliki rujukan keteladanan yakni pribadi Nabi Muhammad SAW sebagaiman firman Allah :
Sesungguhnya adalah bagi kamu pada Rasulullah itu teladan yang baik.
Situasi politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya yang tak menentu di negara ini mengharuskan kita pandai-pandai membangun kesadaran untuk menjadi pribadi yang baik. Dalam kehidupan politik, misalnya banyak sekali adegan saling memojokkan elit politik. Dalam kehidupan ekonomi banyak sekali oknum yang berbohong ketika melakukan transaksi. Dalam kehidupan sosial, misalnya kurang peduli terhadap orang miskin. Sedangkan dalam kehidupan budaya, misalnya sebagian masyarakat tidak mampu memfilter man budaya yang baik dan mana yang tidak.
Kesalehan mencakup hubungan baik dengan Allah (hablum minallah), hubungan baik dengan sesama manusia (hablum minan nas), dan hubungan baik dengan alam (hablum minal alam).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang sungguh-sungguh dalam beragama dan orang yang pura2 dalam beragama dapat dilihat dari beberapa indikator, yaitu apakah orang itu imannya teguh ataukah rapuh, apakah orang itu konsisten mentaati ajaran agama ataukah mengabaikannya, apakah orang itu memiliki kesalehan dalam bersikap dan berperilaku ataukah tidak berakhlak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar